Kamis, Juni 16, 2011

Review : SANCTUM

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Kamis, Juni 16, 2011 0 komentar

Seperti yang dibuktikan Titanic (1997) dan Avatar (2009), tampilan audio visual yang begitu memukau memegang peranan yang sangat penting dalam setiap film yang melibatkan nama James Cameron. Begitu vital, tampilan audio visual yang seringkali menawarkan terobosan baru dalam dunia perfilman tersebut menjadi faktor yang tidak dapat disangkal menjadi titik penting penghasil aliran emosi di dalam jalan cerita film itu sendiri. Di lain pihak, film-film yang ditangani Cameron seringkali memiliki kelemahan dalam segi penceritaan. Yang paling sering dikritisi, tentu saja, adalah kekurangmampuan Cameron untuk melakukan supervisi pada deretan dialog para karakter yang ada di dalam jalan cerita filmnya. Sanctum, yang walaupun hanya melibatkan Cameron sebagai seorang produser eksekutif, juga memiliki keterikatan ciri khas kualitas yang sama dengan film-film yang menjadi karya Cameron sebelumnya.
Tidak dapat disangkal, premis yang berjanji untuk menghadirkan sebuah petualangan ke bagian dasar dan terdalam dari Bumi, ke sebuah wilayah yang sama sekali belum pernah disentuh oleh manusia, dan disajikan dengan tampilan audio visual yang kualitasnya diawasi oleh seorang James Cameron, akan membuat setiap orang menanti kehadiran Sanctum. Dan benar saja, Sanctum adalah sebuah thriller yang berhasil menyajikan petualangan bawah tanah dengan cara yang spektakuler. Namun lebih dari itu, Sanctum benar-benar lemah dalam hal karakterisasi dan penceritaan dialognya. Bahkan lebih lemah dari apa yang pernah ditampilkan oleh Cameron dalam Titanic maupun Avatar!
Ditulis oleh John Garvin dan Andrew Wight, yang diinspirasi dari kisah nyata yang dialami oleh Wight ketika ia hampir saja tewas dalam melakukan kegiatan ekspedisi penyelaman ke sebuah gua bawah laut, Sanctum berkisah mengenai perjalanan yang dilakukan pasangan Carl Hurley (Ioan Gruffudd) dan Victoria (Alice Parkinson) ke Papua Nugini untuk menjelajahi situs gua bawah laut bersama Frank McGuire (Richard Roxburgh), seorang penyelam profesional, dan anaknya, Josh (Rhys Wakefield). Frank telah terlebih dahulu mempersiapkan gua bawah laut tersebut untuk dijelajahi oleh Carl dan Victoria, sehingga ketika jutawan itu datang, Frank akan membawa mereka masuk dalam sebuah petualangan yang tidak akan mereka lupakan seumur hidup mereka.
Malang, alam sepertinya berkehendak lain. Tepat ketika Carl, Victoria dan Josh bergabung bersama Frank dan tim ekspedisinya di gua bawah laut tersebut, sebuah badai datang menerjang dan mengancam kehidupan mereka. Ketika akhirnya gua tersebut mulai tertutupi oleh banjir, satu-satunya jalan keluar dari teror tersebut adalah untuk menempuh alur gua bawah laut tersebut  sebelum akhirnya mereka dapat menemukan sebuah jalan keluar yang berada di lautan luas. Terdengar seperti sebuah petualangan biasa? Belum ada manusia satupun yang pernah menjelajahi gua bawah laut tersebut. Ditambah dengan kehadiran intensitas emosi yang cukup tinggi di antara para penjelajah tersebut, kematian sepertinya akan dengan mudah menyelinap dan mengambil korbannya.
Sanctum menggunakan sebuah kamera khusus 3D untuk memperoleh gambar-gambarnya – sebuah kamera yang juga digunakan oleh James Cameron pada Avatar dan teknologinya telah dikembangkan Cameron selama hampir satu dekade. Wajar saja jika kemudian Sanctum dipenuhi dengan deretan gambar indah, misterius serta mencekam akan pemandangan dari sebuah gua bawah laut. Tim produksi juga menghabiskan cukup banyak waktu dalam menciptakan latar belakang lokasi yang tepat untuk dapat memberikan pengembangan yang lebih mendalam mengenai suasana yang diperlukan di dalam jalan cerita. Dan mereka, harus diakui, berhasil melakukannya. Dengan latar belakang tempat yang menggunakan pemandangan alam yang benar-benar nyata, gelap dan cenderung sempit, Sanctum berhasil menghadirkan teror tersendiri yang akan datang dari kemampuan film tersebut untuk mengeluarkan rasa takut penontonnya akan ruang yang gelap dan terbatas.
Berbanding terbalik dengan tampilan audio visualnya yang seperti dikerjakan secara intensif oleh sekumpulan tim produksi profesional, naskah cerita Sanctum justru terlihat seperti dikerjakan oleh mereka yang sama sekali tidak mengerti mengenai bagaimana cara mengembangkan cerita dan karakter dengan baik. Hasilnya, di sepanjang penceritaan, banyak dialog-dialog yang terkesan dangkal dikeluarkan oleh para karakter yang setara dangkalnya dalam hal karakterisasi. Plot kisah mengenai hubungan antara ayah dan anak yang berkembang di tengah-tengah jalan cerita juga terkesan kurang mampu menghasilkan ikatan emosional yang baik kepada para penontonnya.
Pengembangan karakterisasi dan cerita yang dangkal, tentu saja, memberikan pengaruh yang besar pada kemampuan para jajaran pemeran film ini untuk dapat menampilkan permainan terbaik mereka. Walau diisi dengan beberapa nama aktor dan aktris populer asal Australia, departemen akting Sanctum sama sekali tidak memberikan sebuah kontribusi yang berarti pada kualitas film ini secara keseluruhan. Richard Roxburgh hampir tampil tipikal sebagai seorang pria ambisius dengan kepribadian yang tertutup. Sementara Ioan Gruffudd juga gagal memberikan permainan yang berkelas. Selain dua aktor tersebut, nama-nama lainnya juga sepertinya tidak akan begitu diingat akan kontribusi akting yang mereka berikan dalam film ini.
Sebagai sebuah film yang mengatasnamakan petualangan bawah laut sebagai tema utama jalan ceritanya, Sanctumsebenarnya tampil cukup menarik. Walau harus menghabiskan sebagian waktunya dalam menghadirkan deretan drama yang terasa kurang esensial sebelum menghadirkan deretan konflik dan adegan dengan intensitas emosional yang cukup hangat, ketika Sanctum menghadirkan konflik utama ceritanya, Sanctum benar-benar mampu tampil mempesona, khususnya dengan kemampuan sutradara Alister Grierson dalam mengarahkan timnya dalam menghadirkan tata produksi yang begitu mengagumkan. Tetap saja, naskah cerita harus diakui sebagai bagian kelemahan terbesar Sanctum. Dangkal dan dipenuhi dengan berbagai hal klise yang kadang tidak masuk akal. Jelas bukan karya dengan  kualitas yang akan mau diingat oleh James Cameron dalam jangka waktu yang cukup lama.
Sanctum (2011)
Directed by Alister Grierson Produced by Ben Browning, Leesa Kahn, Ryan Kavanaugh, Michael Maher, Brett Popplewell, Peter Rawlinson, Aaron Ryder, Andrew Wight Written by John Garvin, Andrew Wight (screenplay), Andrew Wight (storyStarring Richard Roxburgh, Rhys Wakefield, Alice Parkinson, Daniel Wyllie, Ioan Gruffudd, Christopher Baker, Nicole Downs, Allison Cratchley, Cramer Cain, Andrew Hansen, John GarvinMusic by David Hirschfelder Cinematography Jules O’Loughlin Editing by Mark Warner Studio Relativity Media/Wayfare EntertainmentDistributed by Universal Pictures Running time 109 minutes CountryAustraliaLanguage English

Review : SERDADU KUMBANG

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Kamis, Juni 16, 2011 0 komentar

Sebuah film Indonesia. Dengan latar belakang cerita di sebuah daerah yang mungkin belum banyak dieksplorasi oleh para sineas perfilman negara ini. Menggunakan anak-anak setempat sebagai pemerannya. Mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari dari anak-anak tersebut. Memberi fokus lebih pada satu karakter anak dimana ia sedang memiliki permasalahan dalam menghadapi kehidupan atau keluarganya. Dan jika beruntung, sebuah kisah mengenai pendidikan yang didapatkan oleh anak-anak tersebut. Laskar Pelangi (2008)? Bukan. Denias, Senandung di Atas Awan (2006) ? Bukan. The Mirror Never Lies? Bukan. Batas? Juga bukan.
Film ini berjudul Serdadu Kumbang. Diarahkan oleh Ari Sihasale, yang lewat rumah produksi yang ia miliki bersama istrinya Nia Zulkarnaen, Alenia Pictures, pernah memberikan penonton Indonesia film Senandung di Atas Awan danTanah Air Beta (2010), Ari masih setia untuk mengangkat kehidupan anak-anak dari daerah terpencil sebagai fokus cerita di filmnya. Sayangnya, saat ini seluruh sineas perfilman Indonesia juga sepertinya sedang keranjingan untuk menghasilkan film-film bertema sama. Jangan salah tanggap, adalah sebuah hal yang sangat terpuji untuk mencari berbagai sisi lain dari banyak daerah Indonesia untuk ditampilkan dalam film Indonesia. Hanya saja, akhir-akhir ini para sineas Indonesia sepertinya telah kehabisan akal mengenai bagaimana untuk menampilkan tema tersebut ke hadapan penonton Indonesia. Akhirnya, seluruh film yang mengeksplorasi wilayah dan bakat dari daerah terpencil di Indonesia tersebut berakhir dengan pengisahan yang monoton. Hal yang turut dialaami oleh Ari Sihasale dalam Serdadu Kumbang.
Dalam Serdadu Kumbang, penonton Indonesia kali ini diajak ke wilayah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dan menyimak sisi keseharian dari kehidupan penduduk daerah tersebut. Tokoh utama dalam film ini adalah Amek (Yudi Miftahudin), seorang anak laki-laki yang terlahir dengan sumbing pada bibirnya dan tinggal bersama ibunya, Siti (Titi Sjuman), dan kakaknya, Minun (Monica Sayangbati). Ayahnya sendiri, Zakaria (Asrul Dahlan), semenjak lama telah meninggalkan keluarga ini karena menjadi seorang tenaga kerja di negara Malaysia. Walau hidup dengan cacat fisik yang ia miliki serta kondisi keuangan keluarga yang terbatas, Amek adalah sesosok anak yang ceria. Ia bahkan seringkali menyulitkan ibunya akibat tingkah lakunya yang jahil, malas belajar dan lebih sering berkhayal untuk mengikuti jejak Najwa Shihab untuk menjadi seorang pembawa acara berita.
Cerita kemudian berfokus pada pendidikan yang didapatkan Amek di sekolahnya. Secara akademis, Amek bukanlah sesosok yang cemerlang. Tahun sebelumnya, Amek sempat dinyatakan tidak lulus ketika mengikuti Ujian Nasional. Hal ini yang membuat ibu, kakak dan gurunya, Imbok (Ririn Ekawati), terus menerus memompa semangat belajar Amek. Di sekolah Amek sendiri, para jajaran guru telah bertekad untuk tahun ini dapat meluluskan seluruh siswanya. Hal ini dilakukan dengan cara penegakan disiplin belajar dan tingkah laku di kehidupan sehari-hari mereka. Suatu hal yang kadang justru menjadi sebuah momok tersendiri bagi para siswa dan siswi di sekolah tersebut untuk dapat belajar dengan tenang.
Me-le-lah-kan. Itu mungkin adalah kata yang cukup tepat untuk menggambarkan film yang berdurasi 105 menit ini. Tema dan rangkaian penceritaan yang ingin ditampilkan oleh Ari Sihasale di film ini harus diakui sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru. Ini yang membuat Serdadu Kumbang terasa kaku, monoton dan begitu mudah ditebak. Naskah cerita karya Jeremias Nyangoen (Sang Dewi, 2007) juga terlihat seperti tidak tahu untuk meletakkan fokus utama ceritanya. Konflik demi konflik secara konstan terus dihadirkan tanpa memberikan kesempatan bagi penonton untuk dapat mencerna satu demi persatu deretan konflik tersebut. Rentetan konflik yang secara bertubi-tubi dihadapkan pada penonton inilah yang membuat Serdadu Kumbang kemudian seperti terlalu asyik bercerita tanpa mampu membuat para penontonnya merasakan ikatan emosional pada kisah maupun karakter yang sedang mereka saksikan.
Walau menyelimuti jalan ceritanya dengan begitu banyak konflik dan permasalahan, Serdadu Kumbang sepertinya memiliki misi tertentu dalam penyampaian kisah ceritanya: melakukan kritik terhadap bentuk sistem pendidikan di Indonesia. Ari Sihasale dan naskah cerita yang dituliskan oleh Jeremias terlihat begitu berusaha untuk menampilkan berbagai bentuk ketidakadilan yang selama ini sering didapati oleh para murid-murid sekolah di dalam ruang kelas mereka, mulai dari berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan atas dasar penegakan disiplin dan tingkah laku oleh guru-guru mereka hingga tindak ketidakadilan yang saat ini mungkin dianggap sebagai momok terbesar bagi para murid-murid di seluruh Indonesia: Ujian Nasional.
Sebuah niat yang sangat mulia, tentu saja. Namun Serdadu Kumbang menampilkannya secara sepihak dengan tanpa keinginan untuk melihat sisi-sisi positif dari hal-hal yang mereka kritik tersebut. Lihat saja bagaimana film ini menampilkan sosok UN seperti sebuah akhir kehidupan yang harus dijalani setiap murid sekolah. Memang benar, keberadaan UN dan berbagai aturannya sendiri masih sering menjadi tanda tanya  di kalangan masyaraakat Indonesia. Namun Serdadu Kumbang juga terlihat seperti menggampangkan kasus dan hanya ingin mengatakan pelaksanaan UN adalah sebuah keputusan buruk. Serdadu Kumbang tidak melihat sebuah kepentingan bahwa UN dilakukan adalah sebagai usaha pemerintah untuk menyamaratakan standar pendidikan di setiap daerah di Indonesia. UN juga dilakukan  sebagai motivasi bagi para murid untuk tetap terus belajar. Namun tidak. UN dalam film ini dihadirkan hanya dari satu sisi: sebagai sebuah momok yang seharusnya tidak pernah dilaksanakan. Sebagai sebuah teror yang secerdas apapun seorang murid, belum tentu dapat melaluinya. Sebagai sebuah ketidakadilan yang menindas masyarakat Indonesia. Tidak masalah jika Serdadu Kumbang ingin menampilkan UN sebagai sebuah mimpi buruk. Namun dengan cara penyampaiannya yang kelewat monoton dan berlebihan, Serdadu Kumbang justru terlihat sebagai provokasi murahan berat sebelah yang tak mampu benar-benar menjelaskan apa keburukan dari UN tersebut kecuali doktrin kecil bahwa UN adalah buruk.
Penyampaian deretan konflik yang disajikan Serdadu Kumbang juga terkesan mengasingkan para penonton muda yang awalnya menjadi target utama penonton film ini. Bagian awal film, yang masih berkisah mengenai kehidupan karakter Amek, keluarga dan persahabatannya mungkin masih akan mampu memberikan hiburan bagi para penonton muda. Namun, dengan terlalu banyaknya pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini, Serdadu Kumbang harus diakui akan berjalan begitu membosankan bagi para penonton muda tadi mengingat topik pembicaraan film telah berubah menjadi kritikan terhadap sistem pendidikan yang dapat dipastikan sangat jauh dari jangkauan pemikiran penonton anak-anak saat ini.
Dari sisi teknis dan departemen akting, Serdadu Kumbang juga tidak menawarkan sesuatu yang istimewa. Para aktor dan aktris profesional yang tampil di film ini mampu menampilkan permaianan terbaik mereka. Sayangnya, kebanyakan dari aktor dan aktris tersebut memiliki peran yang snagaat terbatas. Posisi mereka kebanyakan digantikan oleh aktor dan aktris cilik yang berasal dari daerah setempat. Walau terkadang masih terlihat kaku, namun aktor dan aktris cilik tersebut cukup mampu membawakan peran mereka dengan baik. Yang cukup standout adalah tata musik karya Aksjan Sjuman dan Titi Sjuman. Iringan musik yang menghiasi beberapa adegan di film ini sangat mampu meningkatkan aliran emosi cerita kepada para penontonnya.
Sama sekali tidak ada sesuatu yang baru yang dapat ditawarkan Ari Sihasale dalam film yang menjadi kali ketiga ia duduk di kursi sutradara ini. Dengan berbagai kelemahan yang terdapat pada naskah cerita film ini, tidak dapat disangkal bahwa Serdadu Kumbang terlihat hadir sebagai sebuah film klise yang lagi-lagi mengangkat mengenai kehidupan para anak-anak yang berasal dari daerah terpencil di Indonesia. Naskah cerita yang menawarkan begitu banyak lapisan permasalahan dieksekusi dengan lemah oleh Ari Sihasale sehingga menjadi begitu monoton, cenderung membosankan dan dengan ending yang kurang begitu menarik. Durasi yang terlalu panjang serta tema dari jalan cerita yang sukar dimengerti oleh kalangan penonton muda kemungkinan besar akan membuat Serdadu Kumbang menjadi sulit untuk dicerna bagi mereka. Akhirnya, Serdadu Kumbang justru berakhir sebagai sebuah film datar dan tidak memberikan kesan apa-apa bagi para penontonnya selain perasaan lelah akibat jalan cerita yang terlalu klise untuk disaksikan.
Serdadu Kumbang (2011)
Directed by Ari Sihasale Produced by Ari Sihasale Written byJeremias Nyangoen Starring Yudi Miftahudin, Aji Santosa, Fachri Azhari, Monica Sayangbati, Titi Sjuman, Ririn Ekawati, Lukman Sardi, Asrul Dahlan, Leroy Osmani, Dorman Borisman, Surya Saputra, Gerry Puraatmadja, Putu Wijaya, Fanny Fadillah, Melly Zamri, Adinda Fudia, Nia Zulkarnaen Music by Aksan Sjuman & Titi SjumanCinematography Ical Tanjung Editing by Robby Barus StudioAlenia Pictures Running time 105 minutes Country IndonesiaLanguage Indonesian (FIRSTA KURNIA ROMADHONI)

Minggu, Mei 15, 2011

Review: Mother’s Day

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Minggu, Mei 15, 2011 1 komentar
Jangan tertipu dengan judul film yang sangat bernuansa film-film keluarga a la Walt Disney! Merupakan versi teranyar sutradara Darren Lynn Bousman (Saw II (2005), Repo! The Genetic Opera (2008)) atas film thriller klasik berjudul sama karya sutradara Charles Kaufman yang sempat populer ketika dirilis pada tahun 1980, Mother’s Day menawarkan cukup banyak adegan berdarah yang akan mampu memuaskan para penggemar film-film bergenre ini. Berbeda dengan film-film bertema sama dengan jalan cerita yang cenderung monoton, Bousman mampu mengintegrasikan setiap adegan bernuansa gore di dalam  Mother’s Day ke dalam cerita utama sehingga membuat kehadiran deretan adegan tersebut justru menjadi elemen penting di dalam film dan tak hanya sekedar menjadi sebuah ajang pameran deretan adegan bernuansa sadisme bagi para penontonnya.
Walau merupakan sebuah remakeMother’s Day karya Bousman adalah sebuah karya yang sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan karya Kaufman yang kontroversial tersebut. Bousman sepertinya hanya mengambil jiwa dariMother’s Day karya Kaufman untuk kemudian mengubahnya menjadi sebuah thriller yang sesuai dengan masa penceritaan modern. Jangan salah! Walau Bousman menghilangkan hampir keseluruhan adegan yang bernuansa kontroversial dari naskah asli Mother’s Day karya Kaufman di dalam filmnya, Bousman masih sanggup memberikan rasa horor tersendiri dalam naskah yang dikerjakan oleh Scott Milam ini. Bousman juga menyelipkan beberapa reka adegan dan dialog dari Mother’s Day milik Kaufman ke dalam filmnya yang, tentu saja, ditujukan sebagai penghormatannya terhadap thriller klasik Kaufman tersebut.
Mother’s Day menceritakan mengenai tiga kawanan perampok bersaudara, Ike (Patrick Flueger), Addley (Warren Kole) dan Johnny Koffin (Matt O’Leary), yang setelah sebuah perampokan bank yang berlangsung gagal, dan menyebabkan Johnny terkena luka tempak yang parah, berniat pulang ke rumah ibu mereka. Tak disangka, sesampainya mereka ke rumah, mereka mengetahui bahwa rumah tersebut tidak lagi dimiliki sang ibu. Mereka pun menahan pasangan pemilik rumah tersebut, Beth (Jaime King) dan Daniel Sohapi (Frank Grillo). Bersama keduanya, masih ada beberapa teman Beth dan Daniel yang saat itu sedang berkumpul untuk merayakan ulang tahun Daniel.
Tidak berapa lama, ibu ketiga perampok tersebut (Rebecca De Mornay) akhirnya datang bersama adik mereka, Lydia (Deborah Ann Woll). Bukannya memperbaiki suasana, ibu ketiga perampok tersebut ternyata merupakan seorang orangtua tunggal yang menanamkan prinsip pemikiran yang salah terhadap anak-anaknya. Kedatangan sang ibu sendiri ke rumah tersebut ternyata memiliki maksud dan tujuan lain. Ia ingin mencari uang yang selama ini dikirimkan anak-anaknya kepada dirinya. Beth dan Daniel menyangkal tuduhan sang ibu bahwa mereka menyimpan uang tersebut. Namun, tentu saja, sang ibu tidak akan menyerah begitu saja. Bersama keempat anaknya, ia menawan Beth, Daniel dan teman-temannya dan mengancam akan menghabisi mereka satu persatu jika ia tidak memperoleh uang tersebut segera.
Mother’s Day karya Bousman adalah sebuah petualangan horor yang sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan karya klasik Kaufman… dalam artian yang jauh lebih baik. Berbeda dengan karya Kaufman, Mother’s Day karya Bousman memiliki karakterisasi yang lebih mendalam terhadap para karakter yang dihadirkan di sepanjang penceritaan film ini. Karakter-karakter ini memiliki permasalahan tersendiri, yang ketika cerita semakin berjalan, akan memicu beberapa sub plot cerita tambahan yang menjadikan Mother’s Day karya Bousman menjadi sedikit lebih kompleks jika dibandingkan dengan karya Kaufman. Dan untungnya, Bousman mampu mengeksekusi tiap permasalahan dengan cukup baik. Intensitas ketegangan cerita terbangun dengan baik, dengan beberapa adegan diantaranya, akan mampu membuat setiap penontonnya tertegun dan menahan nafas mereka.
Keunggulan lain dari film ini adalah jajaran pemerannya yang sangat kuat. Tidak diragukan, Bousman memerlukan seorang aktris yang handal untuk memerankan karakter sang ibu, karakter antagonis utama yang memegang penuh kendali jalan cerita di sepanjang film ini. Dan Bousman, lagi-lagi, melakukan pilihan yang cerdas dengan menempatkan aktris Rebecca De Mornay untuk memerankan karakter tersebut. De Mornay memiliki tatapan mata dan bahasa tubuh yang begitu dingin sehingga walau tanpa satu dialog pun, kehadirannya telah cukup mampu untuk memberikan nuansa horor tersendiri bagi karakter-karakter lainnya.
Kehadiran De Mornay juga mampu diimbangi dengan akting sempurna dari aktris Jaime King. Peran King sebagai Beth, seorang tokoh protagonis, pada awalnya harus banyak berbagi dengan karakter protagonis lainnya. Walau begitu, seiring dengan berjalannya cerita film, karakter Bethy semakin mendapatkan porsi cerita yang besar. Bersamaan dengan hal itu, King mampu menampilkan permainan akting terbaiknya. Terlihat rapuh pada awalnya, King kemudian mampu membentuk Beth sebagai karakter yang kuat dan melawan semua teror yang ia hadapi. De Mornay dan King memang tampil paling optimal, namun Mother’s Day memiliki pengisi departemen akting yang kuat sehingga tak satupun pemerannya terlihat tampil bodoh dan hanya digunakan sebagai korban atas sebuah adegan gore belaka.
Kata remake mungkin adalah sebuah kata yang cukup membuat banyak orang menahan nafas mereka akibat sedikitnya film-film remake yang mampu memiliki kualitas jauh di atas film aslinya. Untungnya, Mother’s Day karya Darren Lynn Bousman ini adalah salah satu dari segelintir film remake berkualitas tersebut. Dengan arahan naskah karya Scott Milam, Bousman menjauhkan Mother’s Day dari imej sebagai sebuah exploitation film yang telah diciptakan oleh film aslinya. Memberikan fokus lebih besar pada pengembangan karakterisasi dan naskah ceritanya, Bousman menjadikanMother’s Day lebih sebagai sebuah teror psikologis dengan beberapa momen gore berhasil dimanfaatkan Bousman sebagai bagian penting dari elemen penceritaan filmnya. Mother’s Day juga berhasil tampil berbeda dengan menghadirkan deretan pemeran yang mampu tampil menghidupkan karakter mereka dengan baik dan tak sekedar hadir sebagai korban belaka. Bousman memang dikenal sebagai sutradara Repo! The Genetic Opera dan beberapa seriSaw yang berantakan. Namun dengan Mother’s Day, Bousman sepertinya dapat membuktikan bahwa dirinya adalah seorang sutradara horor yang layak untuk diperhatikan.
Mother’s Day (2010)
Directed by Darren Lynn Bousman Produced by Brett Ratner, Richard Saperstein, Jay Stern, Brian Witten Written by Scott Milam, Charles Kaufman, Warren Leight (screenplay), Scott Milam (storyStarringRebecca De Mornay, Jaime King, Briana Evigan, Patrick Flueger, Deborah Ann Woll, Alexa Vega, Shawn Ashmore, Frank Grillo, Tony Nappo, Matt O’Leary, Lisa Marcos, Kandyse McClure, Lyriq Bent, Jessie Rusu, AJ Cook, Warren Kole, J. Larose Music by Bobby Johnston CinematographyJoseph White Editing by Lindsey Hayes Kroeger Studio The Genre Co./Rat Entertainment/LightTower Entertainment/Troma EntertainmentDistributed by Optimum Releasing Running time 112 minutesCountry United States Language English

Review: Purple Love

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Minggu, Mei 15, 2011 0 komentar

Setelah Ngebut Kawin (2010) dan sebuah bencana perfilman nasional yang berjudul Kabayan Jadi Milyuner (2010), sutradara Guntur Soeharjanto untuk kali ketiga bekerjasama dengan penulis naskah Cassandra Massardi. Lewat Purple Love, Guntur kali ini menggunakan para personel salah satu kelompok musik paling populer di Indonesia, Ungu, sebagai bintang utamanya. Para personel Ungu, walaupun tidak menampilkan kemampuan akting yang spektakuler, harus diakui tampil dengan kapasitas akting yang sama sekali tidak mengecewakan untuk debut penampilan layar lebar mereka. Naskah karya Cassandra Massardi dan arahan dari Guntur Soeharjanto, di sisi lain, adalah dua hal yang membuat Purple Love terlihat akan segera menyusul prestasi Kabayan Jadi Milyuner tahun lalu dengan menjadi salah satu kontender film Indonesia terburuk tahun ini.
Sebenarnya, Purple Love sangat berpotensi untuk menjadi sebuah drama komedi romantis yang sangat menghibur. Dan hal itu dapat dilihat dari paruh pertama durasi penceritaan film ini. Dikisahkan, Pasha yang baru saja berniat untuk meminang kekasihnya, Lisa (Qory Sandioriva), harus menemui fakta pahit bahwa sang kekasih memutuskan hubungan mereka dan memilih hati seorang pria lain untuk tempatnya memadu cinta. Melihat kondisi Pasha yang terus terpuruk selepas kepergian Lisa, teman-teman Pasha di tempatnya bekerja, sebuah advertising agency bernama Heaven, memutuskan untuk menghubungi Purple Heart, sebuah tempat dimana mereka yang patah hati dapat menemukan potensi mereka untuk dapat berbahagia kembali. Semacam Heart-Break.Com, namun dengan bayaran yang lebih rendah, tuntutan yang lebih ringan, dan tanpa kehadiran Lukman Sardi sebagai pemimpin operasinya.
Lewat Purple Heart pimpinan Talita (Nirina Zubir), Pasha secara perlahan mampu menyadari bahwa hidup dapat terus berlanjut setelah kepergian sang kekasih hati. Namun, pekerjaan Talita tidaklah hanya berhenti pada tahap tersebut. Talita juga harus dapat menemukan seorang wanita untuk menggantikan posisi Lisa di hati Pasha. Talita kemudian mengirimkan klien-nya yang lain, Shelly (Kirana Larasati), untuk menjumpai Pasha. Sialnya, Shelly malah bertemu dengan teman Pasha, Oncy, dan saling jatuh hati pada pandangan pertama. Sementara itu, hubungan Pasha dan Talita semakin dekat… Sebuah hal yang dirasakan Talita sebagai suatu hal yang salah dan harus dihentikan akibat sebuah rahasia yang telah lama ia pendam sendiri.
Sekitar empat puluh lima menit awal dari Purple Love merupakan bagian keemasan dari masa penceritaan film ini. Setelah mengisahkan kisah putusnya hubungan Pasha dan Lisa, dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kepribadian dan kinerja profesional Pasha, Purple Love kemudian menampilkan kisah perkenalan dan semakin mendekatnya karakter Pasha dan Talita dengan cara yang komikal dan sangat menghibur. Bagian ini juga diwarnai dengan kehadiran kisah mekarnya romantisme antara karakter Oncy dan Shelly, yang mampu ditampilkan begitu menghibur sehingga seringkali dapat mencuri perhatian penonton dari kisah utama hubungan antara Pasha dan Talita.
Lalu, tibalah paruh kedua film yang naskahnya seperti ditulis oleh orang yang berbeda dan dengan tujuan penceritaan yang berbeda pula. Entah mengapa, Cassandra sepertinya memiliki sebuah keharusan untuk menghadirkan kisah yang mendayu-dayu untuk menciptakan kesan romantis yang lebih mendalam pada jalan cerita Purple Love. Sayangnya, hal tersebut ia lakukan dengan memilih sebuah jalan yang terasa begitu klise… dengan cara menghadirkan sebuah penyakit mematikan kepada salah satu karakter. Kehadiran plot mengenai seorang karakter yang menderita penyakit mematikan tersebut kemudian mengubah seluruh ritme cerita yang sebelumnya telah tercipta. Kisah hubungan Oncy dan Shelly dihapus secara keseluruhan, beberapa komedi masih dapat diselipkan, namun jalan cerita secara tiba-tiba beralih dan didominasi oleh kisah mengenai rasa kemanusiaan. Jalan cerita yang sedari awal berkisah mengenai petualangan cinta dan kehidupan setiap karakternya, kemudian berubah menjadi kisah bagaimana mereka mulai menemukan arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Jika Anda bertanya-tanya, tema yang ingin dibawakan Cassandra di sini adalah kebahagiaan sejati dapat diraih dengan cara membahagiakan orang lain yang sedang berada dalam kesusahan. Sangat inspirasional… namun diletakkan dalam konteks yang sedikit kurang tepat.
Tidak hanya itu, bagian akhir kisah kemudian diwarnai dengan begitu banyaknya kejutan yang tidak perlu dan kemunculan beberapa karakter yang tiba-tiba memiliki arti tersendiri dalam kehidupan karakter yang telah ada sebelumnya. Hubungan karakter Pasha dan Talita yang akan berlanjut ke jenjang pernikahan, tiba-tiba ‘diperumit’ oleh salah satu karakter tersebut yang entah kenapa harus membawa kembali karakter Lisa – yang tadinya benar-benar hilang di pertengahan cerita – untuk hadir dalam kisah cinta mereka. Kemudian masih ada kemunculan karakter tante dari karakter Talita yang diperankan oleh aktris Henidar Amroe. Kemunculannya sendiri tidak begitu berpengaruh besar pada jalan cerita. Hanya dijadikan jembatan bagi karakter Pasha untuk mengenal karakter Talita di masa kecilnya, termasuk sebuah impian besarnya yang masih belum terwujud.
Kecuali Kirana Larasati, rasanya tidak ada yang benar-benar tampil menonjol dalam departemen akting Purple Love. Walau tidak mengecewakan, para personel Ungu masih dapat dirasakan kaku pada beberapa bagian. Nirina Zubir juga hadir dengan kapasitas akting sebagai Nirina Zubir yang selama ini sering ia perlihatkan di berbagai karakter yang ia perankan sebelumnya. Henidar Amroe tampil dengan porsi cerita yang sama sekali menyia-nyiakan bakat aktingnya. Dan Qory Sandioriva? Benar-benar menyia-nyiakan kesempatan akting yang diberikan padanya dengan penampilan yang hampir dapat disebut datar di setiap kehadiran karaakternya. Hanya Kirana Larasati yang mampu tampil mencuri perhatian. Dengan penggambaran karakter yang sedikit nyeleneh jika dibandingkan karakter-karakter lain yang ada di dalam jalan cerita, Kirana mampu menghidupkan karakter yang ia perankan dengan baik dan tampil sebagai bintang utama dari Purple Love.
Hadir dengan jalan cerita yang cukup memikat pada awalnya, dengan penceritaan yang menghibur dan dikemas dengan  porsi romansa dan komedi yang tepat, Purple Love kemudian terlihat kehilangan arah dalam penceritaannya. Dipenuhi dengan berbagai hal-hal klise yang senantiasa mewarnai drama Indonesia, serta kehadiran beberapa plot cerita tambahan yang sama sekali tidak perlu, Purple Love secara perlahan mulai terasa melelahkan dan tidak dapat dinikmati. Hal ini terus berlanjut hingga akhirnya durasi film usai dengan kualitas penceritaan benar-benar berada pada titik yang sangat tidak memuaskan. Sama sekali tidak ada yang dapat diunggulkan dari film ini. Beberapa bagian masih dapat dinikmati, namun secara keseluruhan, Purple Love adalah sebuah kekecewaan besar. Strike three, Guntur-Cassandra!
Purple Love (2011)



Directed by Guntur Soeharjanto Produced by Chand Parwez ServiaWritten by Cassandra Massardi Starring Pasha, Nirina Zubir, Oncy, Kirana Larasati, Makki, Enda, Rowman, Henidar Amroe, Qory Sandioriva, Djenar Maesa Ayu, Unang, Imey Liem Music by Tya Subiakto SatrioCinematography Fadjar Soebekti Editing by Cesa David Luckmansyah, Ryan Purwoko Studio Starvision Running time 100 minutes CountryIndonesia Language Indonesian

Hi Read This..!!

This Is Me

Foto Saya
Im just fashion design and art addicted. And beautiful day dreamer since 1992

compartidísimos

Buscar

 

Autumn After Summer Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos