Kamis, Juni 16, 2011

Review : SANCTUM

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Kamis, Juni 16, 2011 0 komentar

Seperti yang dibuktikan Titanic (1997) dan Avatar (2009), tampilan audio visual yang begitu memukau memegang peranan yang sangat penting dalam setiap film yang melibatkan nama James Cameron. Begitu vital, tampilan audio visual yang seringkali menawarkan terobosan baru dalam dunia perfilman tersebut menjadi faktor yang tidak dapat disangkal menjadi titik penting penghasil aliran emosi di dalam jalan cerita film itu sendiri. Di lain pihak, film-film yang ditangani Cameron seringkali memiliki kelemahan dalam segi penceritaan. Yang paling sering dikritisi, tentu saja, adalah kekurangmampuan Cameron untuk melakukan supervisi pada deretan dialog para karakter yang ada di dalam jalan cerita filmnya. Sanctum, yang walaupun hanya melibatkan Cameron sebagai seorang produser eksekutif, juga memiliki keterikatan ciri khas kualitas yang sama dengan film-film yang menjadi karya Cameron sebelumnya.
Tidak dapat disangkal, premis yang berjanji untuk menghadirkan sebuah petualangan ke bagian dasar dan terdalam dari Bumi, ke sebuah wilayah yang sama sekali belum pernah disentuh oleh manusia, dan disajikan dengan tampilan audio visual yang kualitasnya diawasi oleh seorang James Cameron, akan membuat setiap orang menanti kehadiran Sanctum. Dan benar saja, Sanctum adalah sebuah thriller yang berhasil menyajikan petualangan bawah tanah dengan cara yang spektakuler. Namun lebih dari itu, Sanctum benar-benar lemah dalam hal karakterisasi dan penceritaan dialognya. Bahkan lebih lemah dari apa yang pernah ditampilkan oleh Cameron dalam Titanic maupun Avatar!
Ditulis oleh John Garvin dan Andrew Wight, yang diinspirasi dari kisah nyata yang dialami oleh Wight ketika ia hampir saja tewas dalam melakukan kegiatan ekspedisi penyelaman ke sebuah gua bawah laut, Sanctum berkisah mengenai perjalanan yang dilakukan pasangan Carl Hurley (Ioan Gruffudd) dan Victoria (Alice Parkinson) ke Papua Nugini untuk menjelajahi situs gua bawah laut bersama Frank McGuire (Richard Roxburgh), seorang penyelam profesional, dan anaknya, Josh (Rhys Wakefield). Frank telah terlebih dahulu mempersiapkan gua bawah laut tersebut untuk dijelajahi oleh Carl dan Victoria, sehingga ketika jutawan itu datang, Frank akan membawa mereka masuk dalam sebuah petualangan yang tidak akan mereka lupakan seumur hidup mereka.
Malang, alam sepertinya berkehendak lain. Tepat ketika Carl, Victoria dan Josh bergabung bersama Frank dan tim ekspedisinya di gua bawah laut tersebut, sebuah badai datang menerjang dan mengancam kehidupan mereka. Ketika akhirnya gua tersebut mulai tertutupi oleh banjir, satu-satunya jalan keluar dari teror tersebut adalah untuk menempuh alur gua bawah laut tersebut  sebelum akhirnya mereka dapat menemukan sebuah jalan keluar yang berada di lautan luas. Terdengar seperti sebuah petualangan biasa? Belum ada manusia satupun yang pernah menjelajahi gua bawah laut tersebut. Ditambah dengan kehadiran intensitas emosi yang cukup tinggi di antara para penjelajah tersebut, kematian sepertinya akan dengan mudah menyelinap dan mengambil korbannya.
Sanctum menggunakan sebuah kamera khusus 3D untuk memperoleh gambar-gambarnya – sebuah kamera yang juga digunakan oleh James Cameron pada Avatar dan teknologinya telah dikembangkan Cameron selama hampir satu dekade. Wajar saja jika kemudian Sanctum dipenuhi dengan deretan gambar indah, misterius serta mencekam akan pemandangan dari sebuah gua bawah laut. Tim produksi juga menghabiskan cukup banyak waktu dalam menciptakan latar belakang lokasi yang tepat untuk dapat memberikan pengembangan yang lebih mendalam mengenai suasana yang diperlukan di dalam jalan cerita. Dan mereka, harus diakui, berhasil melakukannya. Dengan latar belakang tempat yang menggunakan pemandangan alam yang benar-benar nyata, gelap dan cenderung sempit, Sanctum berhasil menghadirkan teror tersendiri yang akan datang dari kemampuan film tersebut untuk mengeluarkan rasa takut penontonnya akan ruang yang gelap dan terbatas.
Berbanding terbalik dengan tampilan audio visualnya yang seperti dikerjakan secara intensif oleh sekumpulan tim produksi profesional, naskah cerita Sanctum justru terlihat seperti dikerjakan oleh mereka yang sama sekali tidak mengerti mengenai bagaimana cara mengembangkan cerita dan karakter dengan baik. Hasilnya, di sepanjang penceritaan, banyak dialog-dialog yang terkesan dangkal dikeluarkan oleh para karakter yang setara dangkalnya dalam hal karakterisasi. Plot kisah mengenai hubungan antara ayah dan anak yang berkembang di tengah-tengah jalan cerita juga terkesan kurang mampu menghasilkan ikatan emosional yang baik kepada para penontonnya.
Pengembangan karakterisasi dan cerita yang dangkal, tentu saja, memberikan pengaruh yang besar pada kemampuan para jajaran pemeran film ini untuk dapat menampilkan permainan terbaik mereka. Walau diisi dengan beberapa nama aktor dan aktris populer asal Australia, departemen akting Sanctum sama sekali tidak memberikan sebuah kontribusi yang berarti pada kualitas film ini secara keseluruhan. Richard Roxburgh hampir tampil tipikal sebagai seorang pria ambisius dengan kepribadian yang tertutup. Sementara Ioan Gruffudd juga gagal memberikan permainan yang berkelas. Selain dua aktor tersebut, nama-nama lainnya juga sepertinya tidak akan begitu diingat akan kontribusi akting yang mereka berikan dalam film ini.
Sebagai sebuah film yang mengatasnamakan petualangan bawah laut sebagai tema utama jalan ceritanya, Sanctumsebenarnya tampil cukup menarik. Walau harus menghabiskan sebagian waktunya dalam menghadirkan deretan drama yang terasa kurang esensial sebelum menghadirkan deretan konflik dan adegan dengan intensitas emosional yang cukup hangat, ketika Sanctum menghadirkan konflik utama ceritanya, Sanctum benar-benar mampu tampil mempesona, khususnya dengan kemampuan sutradara Alister Grierson dalam mengarahkan timnya dalam menghadirkan tata produksi yang begitu mengagumkan. Tetap saja, naskah cerita harus diakui sebagai bagian kelemahan terbesar Sanctum. Dangkal dan dipenuhi dengan berbagai hal klise yang kadang tidak masuk akal. Jelas bukan karya dengan  kualitas yang akan mau diingat oleh James Cameron dalam jangka waktu yang cukup lama.
Sanctum (2011)
Directed by Alister Grierson Produced by Ben Browning, Leesa Kahn, Ryan Kavanaugh, Michael Maher, Brett Popplewell, Peter Rawlinson, Aaron Ryder, Andrew Wight Written by John Garvin, Andrew Wight (screenplay), Andrew Wight (storyStarring Richard Roxburgh, Rhys Wakefield, Alice Parkinson, Daniel Wyllie, Ioan Gruffudd, Christopher Baker, Nicole Downs, Allison Cratchley, Cramer Cain, Andrew Hansen, John GarvinMusic by David Hirschfelder Cinematography Jules O’Loughlin Editing by Mark Warner Studio Relativity Media/Wayfare EntertainmentDistributed by Universal Pictures Running time 109 minutes CountryAustraliaLanguage English

Review : SERDADU KUMBANG

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Kamis, Juni 16, 2011 0 komentar

Sebuah film Indonesia. Dengan latar belakang cerita di sebuah daerah yang mungkin belum banyak dieksplorasi oleh para sineas perfilman negara ini. Menggunakan anak-anak setempat sebagai pemerannya. Mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari dari anak-anak tersebut. Memberi fokus lebih pada satu karakter anak dimana ia sedang memiliki permasalahan dalam menghadapi kehidupan atau keluarganya. Dan jika beruntung, sebuah kisah mengenai pendidikan yang didapatkan oleh anak-anak tersebut. Laskar Pelangi (2008)? Bukan. Denias, Senandung di Atas Awan (2006) ? Bukan. The Mirror Never Lies? Bukan. Batas? Juga bukan.
Film ini berjudul Serdadu Kumbang. Diarahkan oleh Ari Sihasale, yang lewat rumah produksi yang ia miliki bersama istrinya Nia Zulkarnaen, Alenia Pictures, pernah memberikan penonton Indonesia film Senandung di Atas Awan danTanah Air Beta (2010), Ari masih setia untuk mengangkat kehidupan anak-anak dari daerah terpencil sebagai fokus cerita di filmnya. Sayangnya, saat ini seluruh sineas perfilman Indonesia juga sepertinya sedang keranjingan untuk menghasilkan film-film bertema sama. Jangan salah tanggap, adalah sebuah hal yang sangat terpuji untuk mencari berbagai sisi lain dari banyak daerah Indonesia untuk ditampilkan dalam film Indonesia. Hanya saja, akhir-akhir ini para sineas Indonesia sepertinya telah kehabisan akal mengenai bagaimana untuk menampilkan tema tersebut ke hadapan penonton Indonesia. Akhirnya, seluruh film yang mengeksplorasi wilayah dan bakat dari daerah terpencil di Indonesia tersebut berakhir dengan pengisahan yang monoton. Hal yang turut dialaami oleh Ari Sihasale dalam Serdadu Kumbang.
Dalam Serdadu Kumbang, penonton Indonesia kali ini diajak ke wilayah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat dan menyimak sisi keseharian dari kehidupan penduduk daerah tersebut. Tokoh utama dalam film ini adalah Amek (Yudi Miftahudin), seorang anak laki-laki yang terlahir dengan sumbing pada bibirnya dan tinggal bersama ibunya, Siti (Titi Sjuman), dan kakaknya, Minun (Monica Sayangbati). Ayahnya sendiri, Zakaria (Asrul Dahlan), semenjak lama telah meninggalkan keluarga ini karena menjadi seorang tenaga kerja di negara Malaysia. Walau hidup dengan cacat fisik yang ia miliki serta kondisi keuangan keluarga yang terbatas, Amek adalah sesosok anak yang ceria. Ia bahkan seringkali menyulitkan ibunya akibat tingkah lakunya yang jahil, malas belajar dan lebih sering berkhayal untuk mengikuti jejak Najwa Shihab untuk menjadi seorang pembawa acara berita.
Cerita kemudian berfokus pada pendidikan yang didapatkan Amek di sekolahnya. Secara akademis, Amek bukanlah sesosok yang cemerlang. Tahun sebelumnya, Amek sempat dinyatakan tidak lulus ketika mengikuti Ujian Nasional. Hal ini yang membuat ibu, kakak dan gurunya, Imbok (Ririn Ekawati), terus menerus memompa semangat belajar Amek. Di sekolah Amek sendiri, para jajaran guru telah bertekad untuk tahun ini dapat meluluskan seluruh siswanya. Hal ini dilakukan dengan cara penegakan disiplin belajar dan tingkah laku di kehidupan sehari-hari mereka. Suatu hal yang kadang justru menjadi sebuah momok tersendiri bagi para siswa dan siswi di sekolah tersebut untuk dapat belajar dengan tenang.
Me-le-lah-kan. Itu mungkin adalah kata yang cukup tepat untuk menggambarkan film yang berdurasi 105 menit ini. Tema dan rangkaian penceritaan yang ingin ditampilkan oleh Ari Sihasale di film ini harus diakui sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru. Ini yang membuat Serdadu Kumbang terasa kaku, monoton dan begitu mudah ditebak. Naskah cerita karya Jeremias Nyangoen (Sang Dewi, 2007) juga terlihat seperti tidak tahu untuk meletakkan fokus utama ceritanya. Konflik demi konflik secara konstan terus dihadirkan tanpa memberikan kesempatan bagi penonton untuk dapat mencerna satu demi persatu deretan konflik tersebut. Rentetan konflik yang secara bertubi-tubi dihadapkan pada penonton inilah yang membuat Serdadu Kumbang kemudian seperti terlalu asyik bercerita tanpa mampu membuat para penontonnya merasakan ikatan emosional pada kisah maupun karakter yang sedang mereka saksikan.
Walau menyelimuti jalan ceritanya dengan begitu banyak konflik dan permasalahan, Serdadu Kumbang sepertinya memiliki misi tertentu dalam penyampaian kisah ceritanya: melakukan kritik terhadap bentuk sistem pendidikan di Indonesia. Ari Sihasale dan naskah cerita yang dituliskan oleh Jeremias terlihat begitu berusaha untuk menampilkan berbagai bentuk ketidakadilan yang selama ini sering didapati oleh para murid-murid sekolah di dalam ruang kelas mereka, mulai dari berbagai bentuk tindak kekerasan yang dilakukan atas dasar penegakan disiplin dan tingkah laku oleh guru-guru mereka hingga tindak ketidakadilan yang saat ini mungkin dianggap sebagai momok terbesar bagi para murid-murid di seluruh Indonesia: Ujian Nasional.
Sebuah niat yang sangat mulia, tentu saja. Namun Serdadu Kumbang menampilkannya secara sepihak dengan tanpa keinginan untuk melihat sisi-sisi positif dari hal-hal yang mereka kritik tersebut. Lihat saja bagaimana film ini menampilkan sosok UN seperti sebuah akhir kehidupan yang harus dijalani setiap murid sekolah. Memang benar, keberadaan UN dan berbagai aturannya sendiri masih sering menjadi tanda tanya  di kalangan masyaraakat Indonesia. Namun Serdadu Kumbang juga terlihat seperti menggampangkan kasus dan hanya ingin mengatakan pelaksanaan UN adalah sebuah keputusan buruk. Serdadu Kumbang tidak melihat sebuah kepentingan bahwa UN dilakukan adalah sebagai usaha pemerintah untuk menyamaratakan standar pendidikan di setiap daerah di Indonesia. UN juga dilakukan  sebagai motivasi bagi para murid untuk tetap terus belajar. Namun tidak. UN dalam film ini dihadirkan hanya dari satu sisi: sebagai sebuah momok yang seharusnya tidak pernah dilaksanakan. Sebagai sebuah teror yang secerdas apapun seorang murid, belum tentu dapat melaluinya. Sebagai sebuah ketidakadilan yang menindas masyarakat Indonesia. Tidak masalah jika Serdadu Kumbang ingin menampilkan UN sebagai sebuah mimpi buruk. Namun dengan cara penyampaiannya yang kelewat monoton dan berlebihan, Serdadu Kumbang justru terlihat sebagai provokasi murahan berat sebelah yang tak mampu benar-benar menjelaskan apa keburukan dari UN tersebut kecuali doktrin kecil bahwa UN adalah buruk.
Penyampaian deretan konflik yang disajikan Serdadu Kumbang juga terkesan mengasingkan para penonton muda yang awalnya menjadi target utama penonton film ini. Bagian awal film, yang masih berkisah mengenai kehidupan karakter Amek, keluarga dan persahabatannya mungkin masih akan mampu memberikan hiburan bagi para penonton muda. Namun, dengan terlalu banyaknya pesan-pesan yang ingin disampaikan film ini, Serdadu Kumbang harus diakui akan berjalan begitu membosankan bagi para penonton muda tadi mengingat topik pembicaraan film telah berubah menjadi kritikan terhadap sistem pendidikan yang dapat dipastikan sangat jauh dari jangkauan pemikiran penonton anak-anak saat ini.
Dari sisi teknis dan departemen akting, Serdadu Kumbang juga tidak menawarkan sesuatu yang istimewa. Para aktor dan aktris profesional yang tampil di film ini mampu menampilkan permaianan terbaik mereka. Sayangnya, kebanyakan dari aktor dan aktris tersebut memiliki peran yang snagaat terbatas. Posisi mereka kebanyakan digantikan oleh aktor dan aktris cilik yang berasal dari daerah setempat. Walau terkadang masih terlihat kaku, namun aktor dan aktris cilik tersebut cukup mampu membawakan peran mereka dengan baik. Yang cukup standout adalah tata musik karya Aksjan Sjuman dan Titi Sjuman. Iringan musik yang menghiasi beberapa adegan di film ini sangat mampu meningkatkan aliran emosi cerita kepada para penontonnya.
Sama sekali tidak ada sesuatu yang baru yang dapat ditawarkan Ari Sihasale dalam film yang menjadi kali ketiga ia duduk di kursi sutradara ini. Dengan berbagai kelemahan yang terdapat pada naskah cerita film ini, tidak dapat disangkal bahwa Serdadu Kumbang terlihat hadir sebagai sebuah film klise yang lagi-lagi mengangkat mengenai kehidupan para anak-anak yang berasal dari daerah terpencil di Indonesia. Naskah cerita yang menawarkan begitu banyak lapisan permasalahan dieksekusi dengan lemah oleh Ari Sihasale sehingga menjadi begitu monoton, cenderung membosankan dan dengan ending yang kurang begitu menarik. Durasi yang terlalu panjang serta tema dari jalan cerita yang sukar dimengerti oleh kalangan penonton muda kemungkinan besar akan membuat Serdadu Kumbang menjadi sulit untuk dicerna bagi mereka. Akhirnya, Serdadu Kumbang justru berakhir sebagai sebuah film datar dan tidak memberikan kesan apa-apa bagi para penontonnya selain perasaan lelah akibat jalan cerita yang terlalu klise untuk disaksikan.
Serdadu Kumbang (2011)
Directed by Ari Sihasale Produced by Ari Sihasale Written byJeremias Nyangoen Starring Yudi Miftahudin, Aji Santosa, Fachri Azhari, Monica Sayangbati, Titi Sjuman, Ririn Ekawati, Lukman Sardi, Asrul Dahlan, Leroy Osmani, Dorman Borisman, Surya Saputra, Gerry Puraatmadja, Putu Wijaya, Fanny Fadillah, Melly Zamri, Adinda Fudia, Nia Zulkarnaen Music by Aksan Sjuman & Titi SjumanCinematography Ical Tanjung Editing by Robby Barus StudioAlenia Pictures Running time 105 minutes Country IndonesiaLanguage Indonesian (FIRSTA KURNIA ROMADHONI)

Hi Read This..!!

This Is Me

Foto Saya
Im just fashion design and art addicted. And beautiful day dreamer since 1992

compartidísimos

Buscar

 

Autumn After Summer Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos