Minggu, Mei 15, 2011

Review: Mother’s Day

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Minggu, Mei 15, 2011 1 komentar
Jangan tertipu dengan judul film yang sangat bernuansa film-film keluarga a la Walt Disney! Merupakan versi teranyar sutradara Darren Lynn Bousman (Saw II (2005), Repo! The Genetic Opera (2008)) atas film thriller klasik berjudul sama karya sutradara Charles Kaufman yang sempat populer ketika dirilis pada tahun 1980, Mother’s Day menawarkan cukup banyak adegan berdarah yang akan mampu memuaskan para penggemar film-film bergenre ini. Berbeda dengan film-film bertema sama dengan jalan cerita yang cenderung monoton, Bousman mampu mengintegrasikan setiap adegan bernuansa gore di dalam  Mother’s Day ke dalam cerita utama sehingga membuat kehadiran deretan adegan tersebut justru menjadi elemen penting di dalam film dan tak hanya sekedar menjadi sebuah ajang pameran deretan adegan bernuansa sadisme bagi para penontonnya.
Walau merupakan sebuah remakeMother’s Day karya Bousman adalah sebuah karya yang sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan karya Kaufman yang kontroversial tersebut. Bousman sepertinya hanya mengambil jiwa dariMother’s Day karya Kaufman untuk kemudian mengubahnya menjadi sebuah thriller yang sesuai dengan masa penceritaan modern. Jangan salah! Walau Bousman menghilangkan hampir keseluruhan adegan yang bernuansa kontroversial dari naskah asli Mother’s Day karya Kaufman di dalam filmnya, Bousman masih sanggup memberikan rasa horor tersendiri dalam naskah yang dikerjakan oleh Scott Milam ini. Bousman juga menyelipkan beberapa reka adegan dan dialog dari Mother’s Day milik Kaufman ke dalam filmnya yang, tentu saja, ditujukan sebagai penghormatannya terhadap thriller klasik Kaufman tersebut.
Mother’s Day menceritakan mengenai tiga kawanan perampok bersaudara, Ike (Patrick Flueger), Addley (Warren Kole) dan Johnny Koffin (Matt O’Leary), yang setelah sebuah perampokan bank yang berlangsung gagal, dan menyebabkan Johnny terkena luka tempak yang parah, berniat pulang ke rumah ibu mereka. Tak disangka, sesampainya mereka ke rumah, mereka mengetahui bahwa rumah tersebut tidak lagi dimiliki sang ibu. Mereka pun menahan pasangan pemilik rumah tersebut, Beth (Jaime King) dan Daniel Sohapi (Frank Grillo). Bersama keduanya, masih ada beberapa teman Beth dan Daniel yang saat itu sedang berkumpul untuk merayakan ulang tahun Daniel.
Tidak berapa lama, ibu ketiga perampok tersebut (Rebecca De Mornay) akhirnya datang bersama adik mereka, Lydia (Deborah Ann Woll). Bukannya memperbaiki suasana, ibu ketiga perampok tersebut ternyata merupakan seorang orangtua tunggal yang menanamkan prinsip pemikiran yang salah terhadap anak-anaknya. Kedatangan sang ibu sendiri ke rumah tersebut ternyata memiliki maksud dan tujuan lain. Ia ingin mencari uang yang selama ini dikirimkan anak-anaknya kepada dirinya. Beth dan Daniel menyangkal tuduhan sang ibu bahwa mereka menyimpan uang tersebut. Namun, tentu saja, sang ibu tidak akan menyerah begitu saja. Bersama keempat anaknya, ia menawan Beth, Daniel dan teman-temannya dan mengancam akan menghabisi mereka satu persatu jika ia tidak memperoleh uang tersebut segera.
Mother’s Day karya Bousman adalah sebuah petualangan horor yang sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan karya klasik Kaufman… dalam artian yang jauh lebih baik. Berbeda dengan karya Kaufman, Mother’s Day karya Bousman memiliki karakterisasi yang lebih mendalam terhadap para karakter yang dihadirkan di sepanjang penceritaan film ini. Karakter-karakter ini memiliki permasalahan tersendiri, yang ketika cerita semakin berjalan, akan memicu beberapa sub plot cerita tambahan yang menjadikan Mother’s Day karya Bousman menjadi sedikit lebih kompleks jika dibandingkan dengan karya Kaufman. Dan untungnya, Bousman mampu mengeksekusi tiap permasalahan dengan cukup baik. Intensitas ketegangan cerita terbangun dengan baik, dengan beberapa adegan diantaranya, akan mampu membuat setiap penontonnya tertegun dan menahan nafas mereka.
Keunggulan lain dari film ini adalah jajaran pemerannya yang sangat kuat. Tidak diragukan, Bousman memerlukan seorang aktris yang handal untuk memerankan karakter sang ibu, karakter antagonis utama yang memegang penuh kendali jalan cerita di sepanjang film ini. Dan Bousman, lagi-lagi, melakukan pilihan yang cerdas dengan menempatkan aktris Rebecca De Mornay untuk memerankan karakter tersebut. De Mornay memiliki tatapan mata dan bahasa tubuh yang begitu dingin sehingga walau tanpa satu dialog pun, kehadirannya telah cukup mampu untuk memberikan nuansa horor tersendiri bagi karakter-karakter lainnya.
Kehadiran De Mornay juga mampu diimbangi dengan akting sempurna dari aktris Jaime King. Peran King sebagai Beth, seorang tokoh protagonis, pada awalnya harus banyak berbagi dengan karakter protagonis lainnya. Walau begitu, seiring dengan berjalannya cerita film, karakter Bethy semakin mendapatkan porsi cerita yang besar. Bersamaan dengan hal itu, King mampu menampilkan permainan akting terbaiknya. Terlihat rapuh pada awalnya, King kemudian mampu membentuk Beth sebagai karakter yang kuat dan melawan semua teror yang ia hadapi. De Mornay dan King memang tampil paling optimal, namun Mother’s Day memiliki pengisi departemen akting yang kuat sehingga tak satupun pemerannya terlihat tampil bodoh dan hanya digunakan sebagai korban atas sebuah adegan gore belaka.
Kata remake mungkin adalah sebuah kata yang cukup membuat banyak orang menahan nafas mereka akibat sedikitnya film-film remake yang mampu memiliki kualitas jauh di atas film aslinya. Untungnya, Mother’s Day karya Darren Lynn Bousman ini adalah salah satu dari segelintir film remake berkualitas tersebut. Dengan arahan naskah karya Scott Milam, Bousman menjauhkan Mother’s Day dari imej sebagai sebuah exploitation film yang telah diciptakan oleh film aslinya. Memberikan fokus lebih besar pada pengembangan karakterisasi dan naskah ceritanya, Bousman menjadikanMother’s Day lebih sebagai sebuah teror psikologis dengan beberapa momen gore berhasil dimanfaatkan Bousman sebagai bagian penting dari elemen penceritaan filmnya. Mother’s Day juga berhasil tampil berbeda dengan menghadirkan deretan pemeran yang mampu tampil menghidupkan karakter mereka dengan baik dan tak sekedar hadir sebagai korban belaka. Bousman memang dikenal sebagai sutradara Repo! The Genetic Opera dan beberapa seriSaw yang berantakan. Namun dengan Mother’s Day, Bousman sepertinya dapat membuktikan bahwa dirinya adalah seorang sutradara horor yang layak untuk diperhatikan.
Mother’s Day (2010)
Directed by Darren Lynn Bousman Produced by Brett Ratner, Richard Saperstein, Jay Stern, Brian Witten Written by Scott Milam, Charles Kaufman, Warren Leight (screenplay), Scott Milam (storyStarringRebecca De Mornay, Jaime King, Briana Evigan, Patrick Flueger, Deborah Ann Woll, Alexa Vega, Shawn Ashmore, Frank Grillo, Tony Nappo, Matt O’Leary, Lisa Marcos, Kandyse McClure, Lyriq Bent, Jessie Rusu, AJ Cook, Warren Kole, J. Larose Music by Bobby Johnston CinematographyJoseph White Editing by Lindsey Hayes Kroeger Studio The Genre Co./Rat Entertainment/LightTower Entertainment/Troma EntertainmentDistributed by Optimum Releasing Running time 112 minutesCountry United States Language English

Review: Purple Love

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Minggu, Mei 15, 2011 0 komentar

Setelah Ngebut Kawin (2010) dan sebuah bencana perfilman nasional yang berjudul Kabayan Jadi Milyuner (2010), sutradara Guntur Soeharjanto untuk kali ketiga bekerjasama dengan penulis naskah Cassandra Massardi. Lewat Purple Love, Guntur kali ini menggunakan para personel salah satu kelompok musik paling populer di Indonesia, Ungu, sebagai bintang utamanya. Para personel Ungu, walaupun tidak menampilkan kemampuan akting yang spektakuler, harus diakui tampil dengan kapasitas akting yang sama sekali tidak mengecewakan untuk debut penampilan layar lebar mereka. Naskah karya Cassandra Massardi dan arahan dari Guntur Soeharjanto, di sisi lain, adalah dua hal yang membuat Purple Love terlihat akan segera menyusul prestasi Kabayan Jadi Milyuner tahun lalu dengan menjadi salah satu kontender film Indonesia terburuk tahun ini.
Sebenarnya, Purple Love sangat berpotensi untuk menjadi sebuah drama komedi romantis yang sangat menghibur. Dan hal itu dapat dilihat dari paruh pertama durasi penceritaan film ini. Dikisahkan, Pasha yang baru saja berniat untuk meminang kekasihnya, Lisa (Qory Sandioriva), harus menemui fakta pahit bahwa sang kekasih memutuskan hubungan mereka dan memilih hati seorang pria lain untuk tempatnya memadu cinta. Melihat kondisi Pasha yang terus terpuruk selepas kepergian Lisa, teman-teman Pasha di tempatnya bekerja, sebuah advertising agency bernama Heaven, memutuskan untuk menghubungi Purple Heart, sebuah tempat dimana mereka yang patah hati dapat menemukan potensi mereka untuk dapat berbahagia kembali. Semacam Heart-Break.Com, namun dengan bayaran yang lebih rendah, tuntutan yang lebih ringan, dan tanpa kehadiran Lukman Sardi sebagai pemimpin operasinya.
Lewat Purple Heart pimpinan Talita (Nirina Zubir), Pasha secara perlahan mampu menyadari bahwa hidup dapat terus berlanjut setelah kepergian sang kekasih hati. Namun, pekerjaan Talita tidaklah hanya berhenti pada tahap tersebut. Talita juga harus dapat menemukan seorang wanita untuk menggantikan posisi Lisa di hati Pasha. Talita kemudian mengirimkan klien-nya yang lain, Shelly (Kirana Larasati), untuk menjumpai Pasha. Sialnya, Shelly malah bertemu dengan teman Pasha, Oncy, dan saling jatuh hati pada pandangan pertama. Sementara itu, hubungan Pasha dan Talita semakin dekat… Sebuah hal yang dirasakan Talita sebagai suatu hal yang salah dan harus dihentikan akibat sebuah rahasia yang telah lama ia pendam sendiri.
Sekitar empat puluh lima menit awal dari Purple Love merupakan bagian keemasan dari masa penceritaan film ini. Setelah mengisahkan kisah putusnya hubungan Pasha dan Lisa, dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi kepribadian dan kinerja profesional Pasha, Purple Love kemudian menampilkan kisah perkenalan dan semakin mendekatnya karakter Pasha dan Talita dengan cara yang komikal dan sangat menghibur. Bagian ini juga diwarnai dengan kehadiran kisah mekarnya romantisme antara karakter Oncy dan Shelly, yang mampu ditampilkan begitu menghibur sehingga seringkali dapat mencuri perhatian penonton dari kisah utama hubungan antara Pasha dan Talita.
Lalu, tibalah paruh kedua film yang naskahnya seperti ditulis oleh orang yang berbeda dan dengan tujuan penceritaan yang berbeda pula. Entah mengapa, Cassandra sepertinya memiliki sebuah keharusan untuk menghadirkan kisah yang mendayu-dayu untuk menciptakan kesan romantis yang lebih mendalam pada jalan cerita Purple Love. Sayangnya, hal tersebut ia lakukan dengan memilih sebuah jalan yang terasa begitu klise… dengan cara menghadirkan sebuah penyakit mematikan kepada salah satu karakter. Kehadiran plot mengenai seorang karakter yang menderita penyakit mematikan tersebut kemudian mengubah seluruh ritme cerita yang sebelumnya telah tercipta. Kisah hubungan Oncy dan Shelly dihapus secara keseluruhan, beberapa komedi masih dapat diselipkan, namun jalan cerita secara tiba-tiba beralih dan didominasi oleh kisah mengenai rasa kemanusiaan. Jalan cerita yang sedari awal berkisah mengenai petualangan cinta dan kehidupan setiap karakternya, kemudian berubah menjadi kisah bagaimana mereka mulai menemukan arti kebahagiaan yang sesungguhnya. Jika Anda bertanya-tanya, tema yang ingin dibawakan Cassandra di sini adalah kebahagiaan sejati dapat diraih dengan cara membahagiakan orang lain yang sedang berada dalam kesusahan. Sangat inspirasional… namun diletakkan dalam konteks yang sedikit kurang tepat.
Tidak hanya itu, bagian akhir kisah kemudian diwarnai dengan begitu banyaknya kejutan yang tidak perlu dan kemunculan beberapa karakter yang tiba-tiba memiliki arti tersendiri dalam kehidupan karakter yang telah ada sebelumnya. Hubungan karakter Pasha dan Talita yang akan berlanjut ke jenjang pernikahan, tiba-tiba ‘diperumit’ oleh salah satu karakter tersebut yang entah kenapa harus membawa kembali karakter Lisa – yang tadinya benar-benar hilang di pertengahan cerita – untuk hadir dalam kisah cinta mereka. Kemudian masih ada kemunculan karakter tante dari karakter Talita yang diperankan oleh aktris Henidar Amroe. Kemunculannya sendiri tidak begitu berpengaruh besar pada jalan cerita. Hanya dijadikan jembatan bagi karakter Pasha untuk mengenal karakter Talita di masa kecilnya, termasuk sebuah impian besarnya yang masih belum terwujud.
Kecuali Kirana Larasati, rasanya tidak ada yang benar-benar tampil menonjol dalam departemen akting Purple Love. Walau tidak mengecewakan, para personel Ungu masih dapat dirasakan kaku pada beberapa bagian. Nirina Zubir juga hadir dengan kapasitas akting sebagai Nirina Zubir yang selama ini sering ia perlihatkan di berbagai karakter yang ia perankan sebelumnya. Henidar Amroe tampil dengan porsi cerita yang sama sekali menyia-nyiakan bakat aktingnya. Dan Qory Sandioriva? Benar-benar menyia-nyiakan kesempatan akting yang diberikan padanya dengan penampilan yang hampir dapat disebut datar di setiap kehadiran karaakternya. Hanya Kirana Larasati yang mampu tampil mencuri perhatian. Dengan penggambaran karakter yang sedikit nyeleneh jika dibandingkan karakter-karakter lain yang ada di dalam jalan cerita, Kirana mampu menghidupkan karakter yang ia perankan dengan baik dan tampil sebagai bintang utama dari Purple Love.
Hadir dengan jalan cerita yang cukup memikat pada awalnya, dengan penceritaan yang menghibur dan dikemas dengan  porsi romansa dan komedi yang tepat, Purple Love kemudian terlihat kehilangan arah dalam penceritaannya. Dipenuhi dengan berbagai hal-hal klise yang senantiasa mewarnai drama Indonesia, serta kehadiran beberapa plot cerita tambahan yang sama sekali tidak perlu, Purple Love secara perlahan mulai terasa melelahkan dan tidak dapat dinikmati. Hal ini terus berlanjut hingga akhirnya durasi film usai dengan kualitas penceritaan benar-benar berada pada titik yang sangat tidak memuaskan. Sama sekali tidak ada yang dapat diunggulkan dari film ini. Beberapa bagian masih dapat dinikmati, namun secara keseluruhan, Purple Love adalah sebuah kekecewaan besar. Strike three, Guntur-Cassandra!
Purple Love (2011)



Directed by Guntur Soeharjanto Produced by Chand Parwez ServiaWritten by Cassandra Massardi Starring Pasha, Nirina Zubir, Oncy, Kirana Larasati, Makki, Enda, Rowman, Henidar Amroe, Qory Sandioriva, Djenar Maesa Ayu, Unang, Imey Liem Music by Tya Subiakto SatrioCinematography Fadjar Soebekti Editing by Cesa David Luckmansyah, Ryan Purwoko Studio Starvision Running time 100 minutes CountryIndonesia Language Indonesian

Jumat, Mei 06, 2011

That's what we call as sacrifice.

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Jumat, Mei 06, 2011 0 komentar
Mungkin awalnya kalian punya ego masing-masing yang harus terpenuhi bagaimanapun cara dan keadaanya. Tapi saat kalian bersama dan menjalani dengan orang yang kalian sayang, rasa ego kalian terpendam demi orang itu. Ego kalian udah gak akan berasa penting lagi, karena yang kita pengen cuma buat mereka bahagia dan tersenyum.

Jangan pernah pernah berfikir mereka memanfaatkan kita atau menganggap kita lemah, tapi suatu saat mereka akan sadar sama semua pengorbanan kita. Karena kita udah ngelakuinnya dengan ikhlas dan tanpa pamrih sedikit pun, kita cuma berharap orang yang kita sayangi itu tersenyum walaupun hanya sepintas yang keliatan.

Mungkin disaat kalian berkorban, kalian sering berpikir selagi lagi masih mampu kenapa kita gak lakuin itu buat orang yang kita sayangi. Karena tanpa kalian sadari orang itu adalah semangat hidup kalian, walopun kita menyangkal kalo kita gak butuh mereka, tapi faktanya orang yang kalian sayangi itu adalah imun kita.

Semuanya harus diawali dari diri kita yang berkorban, dengan sabar banget kita berjuang. Kita menutup mata dan telinga tentang keburukan atau perkataan pedas orang yang kita sayangi. Karena kita tahu Tuhan pasti akan kasih kita hal yang terindah disaat semua pengorbanan kita sedikit dihargai.

Dan mungkin saat ini kalian merasa semuanya terlihat jelas disaat kalian terjatuh di dasar yang paling gelap. Dimana lo harus bisa menerawang dan menjadi cahaya untuk orang yang kita sayangi, dimana lo harus jadi mercusuar yang kokoh dan tegak walaupun kalian capek kena ombak !!! Tapi tetep bertahan.

Mungkin itu sebabnya  That's what we call as sacrifice. Tapi pengorbanan kita iu pengorbanan mercusuar di tengah laut, pengorbanan pohon mangga buat benalu, dan pengorbanan manusia yang kena DBD karena kita ngasih makan nyamuk aides aigepty :D. Jadi jangan menyerah !!!



Selasa, Mei 03, 2011

Tetap Mengerti - Kerispatih

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Selasa, Mei 03, 2011 0 komentar

Minggu, Mei 01, 2011

NGOK !!! mandarinnnn

Diposting oleh Firsta Kurnia Romadhoni di Minggu, Mei 01, 2011 2 komentar
     Setiap sabtu gue ada kelas Mandarin dan itu tuntutan buat syarat OJT nanti, kalau gak penting gak bakal deh gue ikutan tuh kelas.
    Awalnya gue seneng banget ikutan kelas mandarin tapi lama kelamaan maless, coz dosennya itu bangga bangga in mandarin banget kea gak bangga aja jadi orang Indonesia !!
     Udah gitu sering ngebahas yang gak jelas lagi. Dan parahnya lagi itu dosen cuma mandang murid kesayangan nya gitu. Apa-apa yang dijadiin contoh murid kesayangannya. Gue gak sirik ato cemburu gitu ta seenggaknya kita kan juga bayar dia kali jadi yang adil lahh.
     Lama-lama makin nyebelin coz jadwal ditambah di hari selasa selesai mata kuliah. Seenaknya banget siiikk..!!! Pernah temen gue yang emang keadaan dia terbatas bgt buat nerima pelajaran dia, ehh tapi malh dia malu maluin di depan kelas. Dibilangnya temen gue rajin masuk tapi gak ada yang nyantol gitu. Trus pas gue lagi ngobrol gitu gue disindir dia di depan kelas kea gini :

Laoshi : Kamu ngapain ngobrol ??
Gue     : (diemm aja)
Laoshi : Emang nilai kamu berapa ??
Gue     : 86 (sewot gitu)
Laoshi : Itu kan yang PR, kemarin mid berapa ?
Gue     : 86 juga kan pak ?? (bangga)
Laoshi : Ohh bagus bagus tapi emang temen sebelah kamu udah bagus ? (rada gondok gitu)
Gue     : Gak tau pak
Laoshi : Nilai bagus tuh buat contoh yang lain..
Gue     : Iya pak...(dalam hati seneng banget gue dia gak bisa marah hahahaha)

    Gak berapa lama lagi dia ngomelin temen deket gue. Tapi tuh dosen kalah telak coz omongn dia cuma dicuekin ama temen gue gitu sambil melototin tuh dosen. Dia bilang gak mau nanggung nilai gue ma temen gue kalo jelek coz gue gak merhatiin (padahal gue merhatiin lohh)
      
    Akhirnya semesteran mandarin gue bisa kok ngerjain soal dengan cara gue sendiri !! Pastinya gue gak pelit buat temen temen gue. Karena buat gue orang pinter itu belum tentu beruntung udah gitu percuma lah pinter kalo cuma buat diri sendiri. Emang lo mau idup sendiri ?? Pasti orang kea gitu gak bakal bisa kerja tim yang loyal. Dan dunia kerja nyata tuh gak butuh teori kepinteran lo semua yang penting sosialisasi lo terhadap orang lain dan cara lo nerima kritik. 

    Alhasil nilai gue masih masuk kategori A walopun gak yang tertinggi, pasti itu dosen puas banget ngedidik gue dengan cara yang pedasss Hahahah !!!
    

Ini pelajaran buat kalian, biarin orang lain ngeremehin kalian dengan kepinteran mereka. Toh orang pinter belum tentu beruntung !! dan sepinter apapun orang pasti dia bakalan mulai kerja dari bawah dan punya atasan. Pentingnya atasan gak suka punya bawahan yang sok pinter dan sok tau.!!!!!!


Niiihhh mahasiswa yang netral gak terlibat sindikat apapunn hahaha

Hi Read This..!!

This Is Me

Foto Saya
Im just fashion design and art addicted. And beautiful day dreamer since 1992

compartidísimos

Buscar

 

Autumn After Summer Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos